BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bidan
merupakan suatu profesi yang mana dalam setiap asuhan dan tindakan yang
dilakukan memiliki sebuah tanggung jawab yang besar. Apabila seorang bidan
melakukan suatu kesalahan yang dilakukan, maka ia akan mendapatkan sanksi dan
hukuman yang telah ditetapkan oleh pemenkes.
Dalam
melakukan tindakan–tindakan tersebut, selain melakukan sesuai dengan standar
bidan juga harus memperhatikan norma, etika profesi, kode etik profesi dan
hukum profesi dalam setiap tindakannya.
B.
TUJUAN
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas etikolegal dalam
kebidanan serta menambah wawasan
mengenai permenkes tentang praktek bidan.
C.
MANFAAT
Manfaat
dari pembuatan makalah ini adalah memberikan informasi mengenai peraturan
mentri kesehatan tentang praktek bidan.
BAB II
ISI
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1.
Bidan adalah
seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi
sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan.
2.
Fasilitas
pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif,
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
3.
Surat Tanda
Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki
sertifikat kompetensi.
4.
Surat Izin Kerja
Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada
Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan.
5.
Surat Izin Praktik
Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada
Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik bidan mandiri.
6.
Standar adalah
pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang
meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar operasional prosedur.
7.
Praktik mandiri
adalah praktik bidan swasta perorangan.
8.
Organisasi
profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
BAB II
PERIZINAN
Pasal 2
1.
Bidan dapat
menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
2.
Bidan yang
menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III (D III)
Kebidanan.
Pasal 3
1.
Setiap bidan
yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
2.
Setiap bidan
yang menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB.
3.
SIKB atau SIPB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1 (satu) tempat.
Pasal 4
1.
Untuk memperoleh
SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bidan harus mengajukan permohonan
kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan melampirkan:
a)
fotocopy STR
yang masih berlaku dan dilegalisasi
b)
surat keterangan
sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik
c)
surat pernyataan
memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat praktik
d)
pas foto
berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar
e)
rekomendasi dari
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk dan,
f)
rekomendasi dari
organisasi profesi.
2.
Kewajiban
memiliki STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.
Apabila belum
terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), Majelis Tenaga Kesehatan
Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan, maka Surat Izin
Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR.
4.
Contoh surat
permohonan memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tercantum
dalam Formulir I terlampir.
5.
Contoh SIKB
sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir.
6.
Contoh SIPB
sebagaimana tercantum dalam Formulir III terlampir.
Pasal 5
1.
SIKB/SIPB
dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
2.
Dalam hal
SIKB/SIPB dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota maka persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e tidak diperlukan.
3.
Permohonan
SIKB/SIPB yang disetujui atau ditolak harus disampaikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota kepada pemohon dalam waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima.
Pasal 6
Bidan
hanya dapat menjalankan praktik dan/atau kerja paling banyak di 1 (satu) tempat
kerja dan 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 7
1.
SIKB/SIPB
berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa
berlakunya.
2.
Pembaharuan
SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota setempat dengan melampirkan:
a)
fotokopi
SIKB/SIPB yang lama
b)
fotokopi STR
c)
surat keterangan
sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik
d)
pas foto
berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar
e)
rekomendasi dari
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk sesuai
ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf dan
f)
rekomendasi dari
organisasi profesi.
Pasal 8
SIKB/SIPB
dinyatakan tidak berlaku karena:
1)
tempat
kerja/praktik tidak sesuai lagi dengan SIKB/SIPB.
2)
masa berlakunya
habis dan tidak diperpanjang.
3)
dicabut oleh
pejabat yang berwenang memberikan izin.
BAB III
PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 9
Bidan
dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi:
1)
pelayanan
kesehatan ibu
2)
pelayanan
kesehatan anak dan
3)
pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Pasal 10
1.
Pelayanan
kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada masa
pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa
antara dua kehamilan.
2.
Pelayanan
kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a)
pelayanan
konseling pada masa pra hamil
b)
pelayanan
antenatal pada kehamilan normal
c)
pelayanan
persalinan normal
d)
pelayanan ibu
nifas normal
e)
pelayanan ibu
menyusui dan
f)
pelayanan
konseling pada masa antara dua kehamilan.
3.
Bidan dalam
memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk:
a)
Episiotomi
b)
penjahitan luka
jalan lahir tingkat I dan II
c)
penanganan
kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
d)
pemberian tablet
Fe pada ibu hamil
e)
pemberian
vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
f)
fasilitasi/bimbingan
inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif
g)
pemberian
uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum
h)
penyuluhan dan
konseling
i)
bimbingan pada
kelompok ibu hamil
j)
pemberian surat
keterangan kematian dan
k)
pemberian surat
keterangan cuti bersalin.
Pasal 11
1.
Pelayanan
kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diberikan pada bayi
baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
2.
Bidan dalam memberikan
pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a)
melakukan asuhan
bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi
menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal
(0 - 28 hari), dan perawatan tali pusat
b)
penanganan
hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
c)
penanganan
kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
d)
pemberian
imunisasi rutin sesuai program pemerintah
e)
pemantauan
tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
f)
pemberian
konseling dan penyuluhan
g)
pemberian surat
keterangan kelahiran dan
h)
pemberian surat
keterangan kematian.
Pasal 12
Bidan
dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, berwenang untuk memberikan
penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana;
dan memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.
Pasal 13
1.
Selain
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Bidan
yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan
meliputi:
a)
pemberian alat
kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan
alat kontrasepsi bawah kulit
b)
asuhan antenatal
terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan di
bawah supervisi dokter
c)
penanganan bayi
dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
d)
melakukan
pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia
sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
e)
pemantauan
tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
f)
melaksanakan
pelayanan kebidanan komunitas
g)
melaksanakan
deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular
Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya
h)
pencegahan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui
informasi dan edukasi; dan
i)
pelayanan
kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.
2.
Pelayanan alat
kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan
anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan
penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta
pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.
Pasal 14
1.
Bagi bidan yang
menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan
pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
2.
Daerah yang
tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kecamatan atau
kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
3.
Dalam hal daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter, kewenangan bidan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
Pasal 15
1.
Pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktik mandiri tertentu untuk
melaksanakan program Pemerintah.
2.
Bidan praktik
mandiri yang ditugaskan sebagai pelaksana program pemerintah berhak atas
pelatihan dan pembinaan dari pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pasal 16
1.
Pada daerah yang
belum memiliki dokter, Pemerintah dan pemerintah daerah harus menempatkan bidan
dengan pendidikan minimal Diploma III Kebidanan.
2.
Apabila tidak
terdapat tenaga bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan
pemerintah daerah dapat menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan.
3.
Pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota bertanggung jawab menyelenggarakan pelatihan
bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
Pasal 17
1.
Bidan dalam
menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi:
a)
memiliki tempat
praktik
b)
ruangan praktik
dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
c)
serta peralatan
untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan prasekolah yang
memenuhi persyaratan lingkungan sehat
d)
menyediakan
maksimal 2 (dua) tempat tidur untuk persalinan dan memiliki sarana, peralatan
dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.
Ketentuan
persyaratan tempat praktik dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 18
1.
Dalam
melaksanakan praktik/kerja, bidan berkewajiban untuk:
a)
menghormati hak
pasien
b)
memberikan
informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan
c)
merujuk kasus
yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu
d)
meminta
persetujuan tindakan yang akan dilakukan
e)
menyimpan
rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan
f)
melakukan
pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematis mematuhi
standar; dan
g)
melakukan
pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan
kelahiran dan kematian.
2.
Bidan dalam
menjalankan praktik/kerja senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya,
dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan
dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
3.
Bidan dalam
menjalankan praktik kebidanan harus membantu program pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 19
Dalam
melaksanakan praktik/kerja, bidan mempunyai hak:
1)
memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan
standar
2)
memperoleh
informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya
3)
melaksanakan
tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; dan
4)
menerima imbalan
jasa profesi.
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010
Sebagaimana
telah ditetapkan oleh Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan pada bab VI pasal 20 mengenai pencatatan dan
pelaporan. Yang mana bunyi pasal tersebul ialah :
Pasal 20
1.
Dalam melakukan
tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan
yang diberikan.
2.
Pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kePuskesmas wilayah tempat
praktik.
3.
Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bidan yang bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/2002
Sebagaimana
telah ditetapkan oleh Kepmenkes RI NO.900/MENKES/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan pada bab
VI pasal 27 mengenai pencatatan dan pelaporan, yang mana bunyi pasal tersebul
ialah :
Pasal 27
1.
Dalam melakukan
tugasnya bidan wajib melakukan pencacatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan
yang diberikan.
2.
Pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan ke puskesmas dan tembusan keepala
dinas kesehatan kabupaten/kota setempat
3.
Pencatatan dan
peaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran IV
keputusan ini.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010
Kepmenkes
RI NO. 1464/Menkes/X2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek bidan pada
Bab V pasal 20 sampai pasal 24 mengenaipembimbingan dan pengawasan. Yang mana
bunyi pasal tersebul ialah :
Pasal 20
1.
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dan mengikutsertakan
organisasi profesi.
2.
Pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu
pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Pasal 21
1.
Menteri,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota melakukan
pembinaan dan pengawasan dengan mengikut sertakan Majelis Tenaga Kesehatan
Indonesia, Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi, organisasi profesi dan asosiasi
institusi pendidikan yang bersangkutan.
2.
Pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diarahkan untuk meningkatkan
mutu pelayanan, keselamatan
pasien dan melindungi masyarakat
terhadap segala kemungkinan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
3.
Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota harus melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan praktik bidan.
4.
Dalam pelaksanaa
ntugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota harus membuat pemetaan tenaga bidan praktik mandiri dan bidan di desa serta menetapkan dokter puskesmas terdekat untuk
pelaksanaan tugas supervise terhadap bidan di wilayah tersebut.
Pasal 22
Pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan wajib melaporkan bidan yang bekerja dan yang
berhenti bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatannya pada tiap triwulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
dengan tembusan kepada organisasi profesi.
Pasal 23
1.
Dalam rangka
pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten / kota dapat memberikan
tindakan administrative kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturanini.
2.
Tindakan
administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a)
Teguran lisan;
b)
Teguran
tertulis;
c)
pencabutan SIKB
/ SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun ; atau
d)
pencabutan SIKB
/ SIPB selamanya.
Pasal 24
1.
Pemerintah
daerah kabupaten / kota dapat memberikan sanksi berupa rekomendasi pencabutan
surat izin / STR kepada kepala dinas kesehatan privinsi / majelis tenaga
kesehatan Indonesia (MTKI) terhadapbidan yang melakukan praktik tanpa memiliki
SIPB atau kerja tanpa memiliki SIKB sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1)
dan (2).
2.
Pemerintah
daerah kabupaten / kota dapat mengenakan
sanksi teguran lisan, teguran sementara
/ tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan bidan
yang tidak mempunyai SIKB.
Kepmenkes RI
NO.900/MENKES/SK/VII/2002
Kepmenkes
RI NO. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan pada Bab
VIII pasal 31 sampai pasal 41 mengenai pembimbingan dan pengawasan. Yang mana
bunyi pasal tersebul ialah :
Pasal 31
1.
Bidan wajib
mengumpulkan sejumlah angka kredit yang besarnya ditetapkanoleh organisasi
profesi.
2.
Angka kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikumpulkan dari angkakegiatan pendidikan
dan kegiatan ilmiah dan pengabdian masyarakat.
3.
Jenis dan
besarnya angka kredit dari masing-masing unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh organisasi profesi.
4.
Organisasi
profesi mempunyai kewajiban membimbing dan mendorong para anggotanya untuk
dapat mencapai angka kredit yang ditentukan.
Pasal 32
Pimpinan
sarana kesehatan wajib melaporkan bidan yang melakukan praktik dan yang
berhenti melakukan praktik pada saran kesehatannya kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi.
Pasal 33
1.
Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau organisasi profesi terkait melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap bidan yang melakukanpraktik diwilayahnya.
2.
Kegiatan
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat dilakukan
melalui pemantauan yang hasilnya dibahas secara periodik sekurang-kurangnya
1(satu) kali dalam 1(satu) tahun.
Pasal 34
Selama
menjalankan praktik seorang Bidan wajib mentaati semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 35
1.
Bidan dalam
melakukan praktik dilarang :
a)
Menjalankan
praktik apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin
praktik.
b)
Melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan standarprofesi.
2.
Bagi bidan yang
memberikan pertolongan dalam keadaan darurat ataumenjalankan tugas didaerah
terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a.
Pasal 36
1.
Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan peringatanlisan atau tertulis kepada
bidan yang melakukan pelanggaran terhadapKeputusan ini.
2.
Peringatan lisan
atau tertulis sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diberikanpaling banyak 3(tiga)
kali dan apabila peringatan tersebut tidak diindahkan,Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPB Bidan yangbersangkutan.
Pasal 37
Sebelum
Keputusan pencabutan SIPB ditetapkan, KepalaDinas Kesehatan Kabupaten/Kota
terlebih dahulu mendengarpertimbangan dari Majelis DisiplinTenaga Kesehatan
(MDTK) atau Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis (MP2EPM)
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 38
1.
Keputusan
pencabutan SIPB disampaikan kepada bidan yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari terhitung sejak keputusan ditetapkan.
2.
Dalam Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebutkan lama pencabutan SIPB.
3.
Terhadap
pencabutan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan keberatan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dalam waktu 14 (empat belas) hari
setelah Keputusan diterima, apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak
diajukan keberatan, maka keputusan tersebut dinyatakan mempunyai kekuatan hukum
tetap.
4.
Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi memutuskan ditingkat pertama dan terakhir semua keberatan
mengenai pencabutan SIPB.
5.
Sebelum prosedur
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempuh, Pengadilan Tata Usaha
Negara tidak berwenang mengadili sengketa tersebut sesuai dengan maksud Pasal
48 Undang undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 39
Kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan setiap pencabutan SIPB kepada Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan tembusan kepada organisasi profesi
setempat.
Pasal 40
Dalam
keadaan luar biasa untuk kepentingan nasional Menteri Kesehatan dan/atau atas
rekomendasi organisasi profesi dapat mencabut untuk sementara SIPB bidan yang
melanggar ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pencabutan
izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diproses sesuai
dengan ketentuan Keputusan ini.
Pasal 41
Dalam
rangka pembinaan dan pengawasan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
membentuk Tim/Panitia yang bertugas melakukan pemantauan pelaksanaan praktik
bidan di wilayahnya.
Tim/Panitia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, Ikatan Bidan
Indonesia dan profesi kesehatan terkait lainnya.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA PRAKTIK BIDAN
Pasal 42
Bidan
yang dengan sengaja :
melakukan
praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan/adaptasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan/atau melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2); dipidana sesuai
ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan.
Pasal 43
Pimpinan
sarana pelayanan kesehatan yang tidak melaporkan bidan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 dan/atau mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai izin praktik,
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 44
1.
Dengan tidak
mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Bidan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalamKeputusan ini dapat dikenakan
tindakan disiplin berupa teguran lisan, tegurantertulis sampai dengan
pencabutan izin.
2.
Pengambilan
tindakan disiplin sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kepmenkes RI
NO.900/MENKES/SK/VII/2002
Kepmenkes
RI NO. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan pada Bab IX
pasal 42 sampai pasal 44 mengenai ketentuan pidana, yang mana bunyi pasal
tersebul ialah :
Pasal 42
Bidan
yang dengan sengaja :
melakukan
praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan/adaptasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan/atau; melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal
43
Pimpinan
sarana pelayanan kesehatan yang tidak melaporkan bidan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 dan/atau mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai izin praktik,
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 44
1.
Dengan tidak
mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Bidan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalamKeputusan ini dapat dikenakan
tindakan disiplin berupa teguran lisan, tegurantertulis sampai dengan
pencabutan izin.
2.
Pengambilan
tindakan disiplin sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
1.
Bidan yang telah
mempunyai SIPB berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/149/I/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan dinyatakan telah memiliki SIPB berdasarkan
Peraturan ini sampai dengan masa berlakunya berakhir.
2.
Bidan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperbaharui SIPB apabila Surat Izin
Bidan yang bersangkutan telah habis jangka waktunya, berdasarkan Peraturan ini.
Pasal 26
Apabila
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi
(MTKP) belum dibentuk dan/atau belum dapat melaksanakan tugasnya maka
registrasi bidan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.
Pasal 27
Bidan
yang telah melaksanakan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan sebelum
ditetapkan Peraturan ini harus memiliki SIKB berdasarkan Peraturan ini paling
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Peraturan ini ditetapkan.
Pasal 28
Bidan
yang berpendidikan di bawah Diploma III (D III) Kebidanan yang menjalankan
praktik mandiri harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan ini
selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Peraturan ini ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Keputusan
mentri kesehatan mengenai registrasi dan praktek bidan dapat di golongkan atas
beberapa bab, diantaranya tentang praktik bidan ,pencatatan dan pelaporan,
pembinaan dan pengawasan, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan tentang
surat penugasan dan ijin praktek semuanya telah tercantum dalam Permenkes
RI No.1464/ Menkes/X/2010 dan Permenkes
RI No.900/Menkes/SK/VII/2002
.
B.
SARAN
Semoga
dengan adanya keputusan Menteri
kesehatan Republik Indonesia mengenai
registrasi dan praktek bidan ini menjadi pedoman terhadap para bidan dan calon
bidan dalam menjalankan praktik dan tindakan yang akan di lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Puji
Wahyuningsih, Heni.2008.Etika Profesi Kebidanan.Fitramaya.Jakarta
http://hanyhandri.blogspot.com/2011/11/pencatatan-dan-pelaporan-kebidanan.html
Permenkes
1464/MENKES/PER/X/2010
http://lawati07.blogspot.com/2014/05/makalah-etikolegal.html
Estiwidani,
Meilani, Widyasih, Widyastuti, KonsepKebidanan. Yogyakarta, 2008.
Fitramaya.Jakarta.
Depkes
RI PusatpendidikanTenagaKesehatan.Konsep kebidanan,Jakarta.1995.
Puji
Wahyuningsih, Heni.2008.Etika Profesi Kebidanan.Fitramaya.Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar